Di pinggir jalan mungkin akan banyak ditemukan tulisan atau toko yang menggunakan bahasa asing misalkan saja Laundry, tailor, dan kafe. Terus apa yang salah dalam penulisan nama – nama tempat ini?
Tidak ada yang salah memang, apalah arti sebuah nama. Nama bisa dibuat dan diganti apa saja oleh pemilik toko tersebut. Hanya saja penggantian nama dalam bahasa asing ini sangat disayangkan sekali karena ini sekaligus menunjukkan bahwa penamaan dalam bahasa indonesia menunjukkan sebuah gambaran yang kurang menarik. Selain contoh di atas masih banyak contoh yang lain misalnya saja fantasy island, meeting room, students lounge, apartment, canteen, bahkan beberapa tahun yang lalu sebuah perusahan semen yang sudah sangat terkenal di Indonesia mengganti mereknya dari Kujung dan Nusantara menjadi Holcim. Apa yang salah jika menggunakan bahasa.
Sebuah harian ibu kota pernah menyatakan bahwa diperkirakan 90 persen dari 746 bahasa daerah yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia akan mengalami kepunahan atau hilang di akhir abad nanti. Didalam harian itu juga dijelaskan bahwa ada sekitar 10 bahasa yang sudah benar – benar hilang. (Media Indonesia, Kamis 8 Juli 2010)
Ini bukannya suatu hal yang tak mungkin terjadi jika kita merasa gengsi dan malu menggunakan bahasa kita dan lebih memilih bahasa asing yang memang kebanyakan bahasa inggris. Apalagi dengan didukungnya oleh remaja-remaja sekarang yang suka mencampurkan bahasa indonesia dengan bahasa inggris dalam percakapan sehari-hari. Misalkan, malas di sebut boring, bapak disebut bokap, ibu disebut nyokap, makan malam disebut diner, akhir pekan disebut weekend, belanja disebut shooping dan seterusnya.
Mengapa nama-nama itu tidak dituliskan dalam bahasa Indoneisa saja. Apakah bangsa ini sudah malu menggunakan bahasa Indonesia.Apa ruginya jika nama–nama itu tetap ditulis dalam bahasa Indonesia. Apa kita akan dianggap hina. Tidak, kita tidak akan dianggap hina, bukankah gambaran sebuah nama atau kata tergantung dengan kinerja dari perusahaan atau tempat atau orang itu sendiri bukan di lihat dari nama tersebut dalam bahasa Indonesia ataukah bukan.
Dalam Media Indonesia, 10 Mei 2010 masalah bahasa di tuliskan lagi dalam kolom budaya yang menyebutkan “bangsa yang terancam tak mampu berbahasa sendiri” yang menejaskan tentang penurunan nilai bahasa Indonesia yang menyebabkan Unjian Naisonal kurang berhasil.
Masih ingatkah para pemuda-pemuda Indonesia ini dengan ikrar “Soempa Pemuda” yang diangkat oleh pemuda pada “Konggres Pemoeda” pada 28 Oktober 1928 di Solo pada butir ke tiga yang berbunyi ”Kami poetra-poertri Indonesia, mendjornjoeng tinggi bahasa persatoean, bahasa Indonesia”(kami putra pitri Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia). Ini menunjukkan bahwa bahasa merupakan suatu hal yang sangat penting bagi sebuah bangsa. “Bahasa menunjukkan identitas bangsa”,”bahasa menunjukkan bangsa”. tanpa bahasa bangsa tidak akan bisa menunjukkan identitasnya kepada dunia internasional sehingga akhirnya bangsa ini akan lenyap dari perhatian dunia.
Dalam era globalisasi ini jati diri bahasa Indonesia yang menjadi sebuah ciri khas dan keunikan tersendiri bagi bangsa sangat penting untuk dipertahankan dan di kembangkan. Sri Danardana, kepala balai bahasa provinsi Riau juga pernah pernah menuliskan” …bangsa ini patut meniru beberapa bangsa Eropa dalam hal pemertahanan bahasanya. Di Belanda, misalnya meskipun di sekolah diajarkan tiga bahasa (Inggris, Perancis, dan Jerman), bahasa Belanda tetap terpelihara dan digunakan dengan bangga. Di jalan raya tidak ada macam-macam tulisan dalam bahasa asing: busway, ring road, underpass, atau three in one seperti di Indonesia….” Jangan sampai jati diri bahasa indoneisa lenyap dimakan zaman. Ditinggalkan karena lebih memilih bahasa- bahasa asing. Sehingga akhirnya bangsa ini kehilangan identitas aslinya. Kebanggan terhadap bahasa Indonesia harus ditanamkan dalam sanubari setiap bangsa Indonesia.